Aku khawatir terhadap suatu masa yang rodanya dapat menggilas keimanan,
Keyakinan hanya tinggal pemikiran yang tidak berbekas dalam perbuatan,
banyak yang baik tapi tidak berakal,
ada yang berakal tapi tidak beriman,
ada lidah fasih tapi berhati lalai,
ada yang khusyu' namun sibuk dalam kesendirian,
ada ahli ibadah tapi mewarisi kesombongan iblis,
ada ahli maksiat tapi rendah hati bagaikan sufi,
ada yang banyak tertawa hingga hatinya berkarat,
dan ada yang menangis karena kufur nikmat,
ada yang murah senyum tapi hatinya mengumpat,
ada yang berhati tulus tapi wajahnya cemberut,
ada yang berlisan bijak tapi tak memberi teladan,
dan ada yang pezina tampil menjadi figur.
ada yang punya ilmu tapi tak faham,
ada yang faham tapi tak menjalankan,
ada yang pintar tapi membodohi,
ada yang bodoh tapi tak tahu diri,
ada orang beragama tapi tak berakhlaq,
ada yang berakhlaq tapi tak ber Tuhan
Lalu di antara semua itu, dimana Aku berada?"
(Ali Bin Abi Thalib)
Monday, 28 October 2013
Wednesday, 2 October 2013
Lagu Jawa

1. MIJIL
Mijil artinya lahir. Hasil dari olah jiwa dan raga laki-laki dan
perempuan menghasilkan si jabang bayi. Setelah 9 bulan lamanya berada di
rahim sang ibu, sudah menjadi kehendak Hyang Widhi si jabang bayi lahir
ke bumi. Disambut tangisan membahana waktu pertama merasakan betapa
tidak nyamannya berada di alam mercapadha. Sang bayi terlanjur enak
hidup di zaman dwaparayuga, namun harus netepi titah Gusti untuk lahir
ke bumi. Sang bayi mengenal bahasa universal pertama kali dengan
tangisan memilukan hati. Tangisan yang polos, tulus, dan alamiah
bagaikan kekuatan getaran mantra tanpa tinulis. Kini orang tua
bergembira hati, setelah sembilan bulan lamanya menjaga sikap dan laku
prihatin agar sang rena (ibu) dan si ponang (bayi) lahir dengan selamat.
Puja puji selalu dipanjat agar mendapat rahmat Tuhan Yang Maha Pemberi
Rahmat atas lahirnya si jabang bayi idaman hati.
2. MASKUMAMBANG
Setelah lahir si jabang bayi, membuat hati orang tua bahagia tak
terperi. Tiap hari suka ngudang melihat tingkah polah sang bayi yang
lucu dan menggemaskan. Senyum si jabang bayi membuat riang bergembira
yang memandang. Setiap saat sang bapa melantunkan tembang pertanda hati
senang dan jiwanya terang. Takjub memandang kehidupan baru yang sangat
menantang. Namun selalu waspada jangan sampai si ponang menangis dan
demam hingga kejang. Orang tua takut kehilangan si ponang, dijaganya
malam dan siang agar jangan sampai meregang. Buah hati bagaikan emas
segantang. Menjadi tumpuan dan harapan kedua orang tuannya mengukir masa
depan. Kelak jika sudah dewasa jadilah anak berbakti kepada orang tua,
nusa dan bangsa.
3. KINANTI
Semula berujud jabang bayi merah
merekah, lalu berkembang menjadi anak yang selalu dikanthi-kanthi
kinantenan orang tuannya sebagai anugrah dan berkah. Buah hati menjadi
tumpuan dan harapan. Agar segala asa dan harapan tercipta, orang tua
selalu membimbing dan mendampingi buah hati tercintanya. Buah hati
bagaikan jembatan, yang dapat menyambung dan mempererat cinta kasih
suami istri. Buah hati menjadi anugrah ilahi yang harus dijaga siang
ratri. Dikanthi-kanthi (diarahkan dan dibimbing) agar menjadi manusia
sejati. Yang selalu menjaga bumi pertiwi.
4. SINOM
Sinom isih
enom. Jabang bayi berkembang menjadi remaja sang pujaan dan dambaan
orang tua dan keluarga. Manusia yang masih muda usia. Orang tua menjadi
gelisah, siang malam selalu berdoa dan menjaga agar pergaulannya tidak
salah arah. Walupun badan sudah besar namun remaja belajar hidup masih
susah. Pengalamannya belum banyak, batinnya belum matang, masih sering
salah menentukan arah dan langkah. Maka segala tindak tanduk menjadi
pertanyaan sang bapa dan ibu. Dasar manusia masih enom (muda) hidupnya
sering salah kaprah.
5. DHANDANGGULA
Remaja beranjak menjadi
dewasa. Segala lamunan berubah ingin berkelana. Mencoba hal-hal yang
belum pernah dirasa. Biarpun dilarang agama, budaya dan orang tua, anak
dewasa tetap ingin mencobanya. Angan dan asa gemar melamun dalam
keindahan dunia fana. Tak sadar jiwa dan raga menjadi tersiksa. Bagi
anak baru dewasa, yang manis adalah gemerlap dunia dan menuruti nafsu
angkara, jika perlu malah berani melawan orang tua. Anak baru dewasa,
remaja bukan dewasa juga belum, masih sering terperdaya bujukan nafsu
angkara dan nikmat dunia. Sering pula ditakut-takuti api neraka, namun
tak akan membuat sikapnya menjadi jera. Tak mau mengikuti kareping
rahsa, yang ada selalu nguja hawa. Anak dewasa merasa rugi bila tak
mengecap manisnya dunia. Tak peduli orang tua terlunta, yang penting
hati senang gembira. Tak sadar tindak tanduknya bikin celaka, bagi diri
sendiri, orang tua dan keluarga. Cita-citanya setinggi langit,
sebentar-sebentar minta duit, tak mau hidup irit. Jika tersinggung
langsung sengit. Enggan berusaha yang penting apa-apa harus tersedia.
Jiwanya masih muda, mudah sekali tergoda api asmara. Lihat celana saja
menjadi bergemuruh rasa di dada. Anak dewasa sering bikin orang tua
ngelus dada. Bagaimanapun juga mereka buah dada hati yang dicinta.
Itulah sebabnya orang tua tak punya rasa benci kepada pujaan hati.
Hati-hati bimbing anak muda yang belum mampu membuka panca indera,
salah-salah justru bisa celaka semuanya.
6. ASMARADANA
Asmaradana
atau asmara dahana yakni api asmara yang membakar jiwa dan raga.
Kehidupannya digerakkan oleh motifasi harapan dan asa asmara. Seolah
dunia ini miliknya saja. Membayangkan dirinya bagaikan sang pujangga
atau pangeran muda. Apa yang dicitakan haruslah terlaksana, tak pandang
bulu apa akibatnya. Hidup menjadi terasa semakin hidup lantaran gema
asmara membahana dari dalam dada. Biarlah asmara membakar semangat
hidupnya, yang penting jangan sampai terlena. Jika tidak, akan menderita
dikejar-kejar tanggungjawab hamil muda. Sebaliknya akan hidup mulia dan
tergapai cita-citanya. Maka sudah menjadi tugas orang tua membimbing
mengarahkan agar tidak salah memilih idola. Sebab sebentar lagi akan
memasuki gerbang kehidupan baru yang mungkin akan banyak mengharu biru.
Seyogyanya suka meniru tindak tanduk sang gurulaku, yang sabar
membimbing setiap waktu dan tak pernah menggerutu. Jangan suka berpangku
namun pandailah memanfaatkan waktu. Agar cita-cita dapat dituju.
Asmaradana adalah saat-saat yang menjadi penentu, apakah dirimu akan
menjadi orang bermutu, atau polisi akan memburu dirimu. Salah-salah
gagal menjadi menantu, malah akan menjadi seteru.
7. GAMBUH
Gambuh atau Gampang Nambuh, sikap angkuh serta acuh tak acuh, seolah
sudah menjadi orang yang teguh, ampuh dan keluarganya tak akan runtuh.
Belum pandai sudah berlagak pintar. Padahal otaknya buyar matanya nanar
merasa cita-citanya sudah bersinar. Menjadikannya tak pandai melihat
mana yang salah dan benar. Di mana-mana ingin diakui bak pejuang, walau
hatinya tak lapang. Pahlawan bukanlah orang yang berani mati, sebaliknya
berani hidup menjadi manusia sejati. Sulitnya mencari jati diri
kemana-mana terus berlari tanpa henti. Memperoleh sedikit sudah
dirasakan banyak, membuat sikapnya mentang-mentang bagaikan sang
pemenang. Sulit mawas diri, mengukur diri terlalu tinggi. Ilmu yang
didapatkannya seolah menjadi senjata ampuh tiada tertandingi lagi.
Padahal pemahamannya sebatas kata orang. Alias belum bisa menjalani dan
menghayati. Bila merasa ada yang kurang, menjadikannya sakit hati dan
rendah diri. Jika tak tahan ia akan berlari menjauh mengasingkan diri.
Menjadi pemuda pemudi yang jauh dari anugrah ilahi. Maka, belajarlah
dengan teliti dan hati-hati. Jangan menjadi orang yang mudah gumunan dan
kagetan. Bila sudah paham hayatilah dalam setiap perbuatan. Agar
ditemukan dirimu yang sejati sebelum raga yang dibangga-banggakan itu
menjadi mati.
8. DURMA
Munduring tata krama. Dalam cerita wayang
purwa dikenal banyak tokoh dari kalangan “hitam” yang jahat. Sebut saja
misalnya Dursasana, Durmagati,Duryudana. Dalam terminologi Jawa dikenal
berbagai istilah menggunakan suku kata dur/ dura (nglengkara) yang
mewakili makna negatif (awon). Sebut saja misalnya : duraatmoko, duroko,
dursila, dura sengkara, duracara (bicara buruk), durajaya, dursahasya,
durmala, durniti, durta, durtama, udur, dst. Tembang Durma, diciptakan
untuk mengingatkan sekaligus menggambarkan keadaan manusia yang
cenderung berbuat buruk atau jahat. Manusia gemar udur atau cekcok, cari
menang dan benernya sendiri, tak mau memahami perasaan orang lain.
Sementara manusia cendrung mengikuti hawa nafsu yang dirasakan sendiri
(nuruti rahsaning karep). Walaupun merugikan orang lain tidak peduli
lagi. Nasehat bapa-ibu sudah tidak digubris dan dihiraukan lagi. Lupa
diri selalu merasa iri hati. Manusia walaupun tidak mau disakiti, namun
gemar menyakiti hati. Suka berdalih niatnya baik, namun tak peduli
caranya yang kurang baik. Begitulah keadaan manusia di planet bumi, suka
bertengkar, emosi, tak terkendali, mencelakai, dan menyakiti. Maka
hati-hatilah, yang selalu eling dan waspadha.
9. PANGKUR
Bila
usia telah uzur, datanglah penyesalan. Manusia menoleh kebelakang
(mungkur) merenungkan apa yang dilakukan pada masa lalu. Manusia
terlambat mengkoreksi diri, kadang kaget atas apa yang pernah ia
lakukan, hingga kini yang ada tinggalah menyesali diri. Kenapa dulu
tidak begini tidak begitu. Merasa diri menjadi manusia renta yang hina
dina sudah tak berguna. Anak cucu kadang menggoda, masih meminta-minta
sementara sudah tak punya lagi sesuatu yang berharga. Hidup merana yang
dia punya tinggalah penyakit tua. Siang malam selalu berdoa saja,
sedangkan raga tak mampu berbuat apa-apa. Hidup enggan mati pun sungkan.
Lantas bingung mau berbuat apa. Ke sana-ke mari ingin mengaji, tak tahu
jati diri, memalukan seharusnya sudah menjadi guru ngaji. Tabungan
menghilang sementara penyakit kian meradang. Lebih banyak waktu untuk
telentang di atas ranjang. Jangankan teriak lantang, anunya pun sudah
tak bisa tegang, yang ada hanyalah mengerang terasa nyawa hendak
melayang. Sanak kadhang enggan datang, karena ingat ulahnya di masa lalu
yang gemar mentang-mentang. Rasain loh bentar lagi menjadi bathang..!!
10.
MEGATRUH
Megat ruh, artinya putusnya nyawa dari raga. Jika pegat tanpa
aruh-aruh. Datanya ajal akan tiba sekonyong-konyong. Tanpa kompromi
sehingga manusia banyak yang disesali. Sudah terlambat untuk memperbaiki
diri. Terlanjur tak paham jati diri. Selama ini menyembah tuhan penuh
dengan pamrih dalam hati, karena takut neraka dan berharap-harap pahala
surga. Kaget setengah mati saat mengerti kehidupan yang sejati. Betapa
kebaikan di dunia menjadi penentu yang sangat berarti. Untuk menggapai
kemuliaan yang sejati dalam kehidupan yang azali abadi. Duh Gusti, jadi
begini, kenapa diri ini sewaktu masih muda hidup di dunia fana, sewaktu
masih kuat dan bertenaga, namun tidak melakukan kebaikan kepada sesama.
Menyesali diri ingat dulu kala telah menjadi durjana. Sembahyangnya
rajin namun tak sadar sering mencelakai dan menyakiti hati sesama
manusia. Kini telah tiba saatnya menebus segala dosa, sedih sekali ingat
tak berbekal pahala. Harapan akan masuk surga, telah sirna tertutup
bayangan neraka menganga di depan mata. Di saat ini manusia baru menjadi
saksi mati, betapa penyakit hati menjadi penentu dalam meraih kemuliaan
hidup yang sejati. Manusia tak sadar diri sering merasa benci, iri
hati, dan dengki. Seolah menjadi yang paling benar, apapun tindakanya ia
merasa paling pintar, namun segala keburukannya dianggapnya demi
membela diri. Kini dalam kehidupan yang sejati, sungguh baru bisa
dimengerti, penyakit hati sangat merugikan diri sendiri. Duh Gusti…!
11.
POCUNG
Pocung atau pocong adalah orang yang telah mati lalu dibungkus
kain kafan. Itulah batas antara kehidupan mercapadha yang panas dan
rusak dengan kehidupan yang sejati dan abadi. Bagi orang yang baik
kematian justru menyenangkan sebagai kelahirannya kembali, dan merasa
kapok hidup di dunia yang penuh derita. Saat nyawa meregang, rasa
bahagia bagai lenyapkan dahaga mereguk embun pagi. Bahagia sekali
disambut dan dijemput para leluhurnya sendiri. Berkumpul lagi di alam
yang abadi azali. Kehidupan baru setelah raganya mati. Tak terasa bila
diri telah mati. Yang dirasa semua orang kok tak mengenalinya lagi. Rasa
sakit hilang badan menjadi ringan. Heran melihat raga sendiri dibungkus
dengan kain kafan. Sentuh sana sentuh sini tak ada yang mengerti. Di
sana-di sini ketemu orang yang menangisi. Ada apa kok jadi begini,
merasa heran kenapa sudah bahagia dan senang kok masih ditangisi.
Ketemunya para kadhang yang telah lama nyawanya meregang. Dalam dimensi
yang tenang, hawanya sejuk tak terbayang. Kemana mau pergi terasa dekat
sekali. Tak ada lagi rasa lelah otot menegang. Belum juga sadar bahwa
diri telah mati. Hingga beberapa hari barulah sadar..oh jasad ini telah
mati. Yang abadi tinggalah roh yang suci. Sementara yang durjana,
meregang nyawa tiada yang peduli. Betapa sulit dan sakit meregang
nyawanya sendiri, menjadi sekarat yang tak kunjung mati. Bingung kemana
harus pergi, toleh kanan dan kiri semua bikin gelisah hati. Seram
mengancam dan mencekam. Rasa sakit kian terasa meradang. Walau mengerang
tak satupun yang bisa menolongnya. Siapapun yang hidup di dunia pasti
mengalami dosa. Tuhan Maha Tahu dan Bijaksana tak pernah luput menimbang
kebaikan dan keburukan walau sejumput. Manusia baru sadar, yang dituduh
kapir belum tentu kapir bagi Tuhan, yang dianggap sesat belum tentu
sesat menurut Tuhan. Malah-malah yang suka menuduh menjadi tertuduh.
Yang suka menyalahkan justru bersalah. Yang suka mencaci dan menghina
justru orang yang hina dina. Yang gemar menghakimi orang akan tersiksa.
Yang suka mengadili akan diadili. Yang ada tinggalah rintihan lirih tak
berarti, “Duh Gusti pripun kok kados niki…! Oleh sebab itu, hidup kudu
jeli, nastiti, dan ngati-ati. Jangan suka menghakimi orang lain yang tak
sepaham dengan diri sendiri. Bisa jadi yang salah malah pribadi kita
sendiri. Lebih baik kita selalu mawas diri, agar kelak jika mati arwahmu
tidak nyasar menjadi memedi.
12. WIRANGRONG
Hidup di dunia ini
penuh dengan siksaan, derita, pahit dan getir, musibah dan bencana.
Namun manusia bertugas untuk merubah semua itu menjadi anugrah dan
bahagia. Manusia harus melepaskan derita diri pribadi, maupun derita
orang lain. Manusia harus saling asah asih dan asuh kepada sesama. Hidup
yang penuh cinta kasih sayang, bukan berarti mencintai dunia secara
membabi-buta, namun artinya manusia harus peduli, memelihara dan
merawat, tidak membuat kerusakan bagi sesama manusia lainnya, bagi
makhluk hidup dan maupun jagad raya seisinya. Itulah nilai kebaikan yang
bersifat universal. Sebagai wujud nyata hamemayu hayuning bawana,
rahmatan lil alamin. Jangan lah terlambat, akan mengadu pada siapa bila
jasad sudah masuk ke liang lahat (ngerong). Wirangrong, Sak wirange
mlebu ngerong, berikut segala perbuatan memalukan selama hidup ikut
dikubur bersama jasad yang kaku. Keburukannya akan diingat masyarakat,
aibnya dirasakan oleh anak, cucu, dan menantu. Jika kesadaran terlambat
manusia akan menyesal namun tak bisa lagi bertobat. Tidak pandang bulu,
yang kaya atau melarat, pandai maupun bodoh keparat, yang jelata maupun
berpangkat, tidak pandang derajat seluruh umat. Semua itu sekedar
pakaian di dunia, tidak bisa menolong kemuliaan di akherat. Hidup di
dunia sangatlah singkat, namun mengapa manusia banyak yang keparat.
Ajalnya mengalami sekarat. Gagal total merawat barang titipan Yang
Mahakuasa, yakni segenap jiwa dan raganya. Jika manusia tak bermanfaat
untuk kebaikan kepada sesama umat, dan kepada seluruh jagad, merekalah
manusia bejat dan laknat. Pakaian itu hanya akan mencelakai manusia di
dalam kehidupan yang sejati dan abadi. Orang kaya namun pelit dan suka
menindas, orang miskin namun kejam dan pemarah, orang pandai namun suka
berbohong dan licik, orang bodoh namun suka mencelakai sesama, semua itu
akan menyusahkan diri sendiri dalam kehidupan yang abadi. Datanglah
penyesalan kini, semua yang benar dan salah tak tertutup nafsu duniawi.
Yang ada tinggalah kebenaran yang sejati. Mana yang benar dan mana yang
salah telah dilucuti, tak ada lagi secuil tabirpun yang bisa menutupi.
Semua sudah menjadi rumus Ilahi. Di alam penantian nanti, manusia tak
berguna tetap hidup di alam yang sejati dan hakiki, namun ia akan
merana, menderita, dan terlunta-lunta. Menebus segala dosa dan kesalahan
sewaktu hidup di planet bumi. Lain halnya manusia yang berguna untuk
sesama di alam semesta, hidupnya di alam keabadian meraih kemuliaan yang
sejati. Bahagia tak terperi, kemana-mana pergi dengan mudah sekehendak
hati. Ibarat “lepas segala tujuannya” dan “luas kuburnya”. Tiada
penghalang lagi, seringkali menengok anak cucu cicit yang masih hidup di
dimensi bumi. Senang gembira rasa hati, hidup sepanjang masa di alam
keabadian yang langgeng tan owah gingsir
Subscribe to:
Comments (Atom)
